Mellyne Chan - Teks Resensi Ayahku [Bukan] Pembohong
Resensi Novel: Ayahku [Bukan] Pembohong
Mellyne Chan XI-R2
Identitas buku
Judul buku: Ayahku [Bukan] Pembohong
Genre: Fantasi
Penulis: Tere Liye
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Alamat penerbit: Gedung Gramedia Blok I, Lt. 5. Jl. Palmerah Barat 29-37, Jakarta 10270
Cetakan: 25
Jumlah halaman: 304 halaman
ISBN: 9786020331584
Unsur intrinsik
Tokoh dan penokohan:
Dam :
Baik :
“Ibu berbisik, “Kau anak yang baik, Dam. Kau akan selalu jadi anak yang baik.”” (halaman 58)
Pantang menyerah :
“Aku tidak akan menyerah semudah itu.” (halaman 27)
Penuh rasa ingin tahu :
“Ceritakan, Yah…. Ceritakan!” (halaman 22)
Berani :
“Kau tinggal melanggar peraturan asmara. Sebaiknya kejahatan level satu, itu lebih baik.” (halaman 125)
Ayah Dam :
Penyayang :
““Tidak mengapa, Dam, tidak mengapa.” Ayah mengelus rambutku, menghibur.” (halaman 11)
Bijaksana :
“Ah, yang menghina belum tentu lebih mulia dibandingkan yang dihina. Bukankah Ayah sudah berkali-kali bilang, bahkan kebanyakan orang justru menghina diri mereka sendiri dengan menghina orang lain.” (halaman 38)
Pantang menyerah :
“Terkadang Kakek bermalam di jalan, tidur beratapkan bintang gemintang. Makan seadanya, semua serba terbatas. Penampilan Kakek sudah seperti gelandangan. Rambut tidak dicukur. Kumis dan janggut tidak terawat. Kadang Kakek tidak mandi berhari-hari, konsentrasi penuh dengan jadwal perjalanan.” (halaman 136)
Baik :
“Ayah tetap menumpang kendaraan umum, suka mengunjungi tetangga, suka membantu orang lain yang bahkan tidak dikenalnya, amat bersahaja dalam banyak hal.” (halaman 267)
Ibu Dam :
Penyayang :
“Ia menciumi keningku dengan lembut, berbisik pelan, “Dam, ini Ibu, Sayang...Ibu.”” (halaman 28)
Perhatian :
“Ibu meraih gelas di meja, menyuruhku minum. “Kau harus banyak istirahat, Dam, agar lekas pulih.”” (halaman 29)
““Tidur, Dam. Ini sudah pukul tiga dini hari.” Ibu mendelik. “Empat jam lagi kau harus sekolah. Bukankah sore-sore pula kau harus ikut seleksi renang”” (halaman 16)
Taani :
Perhatian :
“Kaki kau pegal, Dam?” (halaman 20)
Bijaksana :
“Istriku tersenyum lembut. “Kau tidak suka Ayah bercerita. Aku tahu itu. Kita sudah berkali-kali membahasnya. Kali ini biarkan Ayah lebih dulu merasa tinggal di rumah sendiri, besok-besok kita bisa mengajaknya bicara. Ayah akan mengerti bahwa Zas dan Qon hidup di zaman berbeda, atau di atas segalanya, Ayah akan mengerti bahwa kau keberatan anak-anak mendengar cerita-cerita itu.”” (halaman 146)
Zas :
Penuh rasa ingin tahu :
“TERUSKAN, Kek! Teruskan.." Zas berseru tidak sabar.” (halaman 153)
Qon :
Energik :
““Qon tahu, Qon tahu,” bungsuku beringsut menyikut kakaknya, “yang jago melewati tiga bek lawan sekaligus kan, Kek? Zig-zag kiri-kanan, hop mengecoh kiper, dan GOL! Si Nomor Sepuluh!” Qon meniru gaya idolanya selepas menceploskan bola ke gawang lawan.” (halaman 6)
Jarjit :
Sombong :
“Bahkan Jarjit, yang orangtuanya kaya raya, memperlihatkan bola yang ditandatangani sendiri sang Kapten waktu ia sekeluarga pelesir ke luar negeri menonton langsung. Sombong sekali Jarjit memamerkannya, lantas bilang, “Dan kau, Pengecut, mana koleksi kau? Atau jangan-jangan ayah kau yang miskin itu bahkan tidak mampu membelikan kartu bergambar.”” (halaman 15)
Penghina :
““Kau semalam menonton tidak, Pengecut?” Jarjit menoleh kepadaku. “Atau jangan-jangan di rumah kau tidak ada televisi?” Kerumunan itu tertawa.” (halaman 21)
““Kau terlalu pendek untuk menjadi perenang, dan rambut kau, astaga.” Jarjit terbahak melirik kepalaku. “Kau harus hati-hati, jangan-jangan kalau kolam ini ada ikannya, mereka menyangka itu sarangnya.”” (halaman 24)
Si Nomor Sepuluh :
Humoris :
““Kau tidak tahu betapa bencinya aku pada ayah kau, Dam.” la tertawa. “Setiap malam ketika aku terlambat pergi latihan, pamanku, kapten tua ini, selalu menceramahiku dan menyebut-nyebut ayah kau. Memaksaku berlatih siang-malam, tidak sempat pergi bermain.”” (halaman 297)
Sang Kapten (El Capitano, El Prince) :
Pantang menyerah :
“Minggu depan dia akan bermain, Dam. Meski dengan bebat di kaki, meski dengan cedera menyakitkan, karena itulah sang Kapten yang sebenarnya. Sejak kecil dia tidak pernah berhenti bekerja keras. Sejak kecil dia belajar langsung kalimat jangan pernah menyerah. Sang Kapten akan kembali dan dia akan mengalahkan lawan-lawannya. Semangatnya tidak akan patah oleh kaki yang patah, apalagi hanya cedera ringan. Ayah tahu sekali itu. Itulah El Capitano, El Prince sejati!” (halaman 16)
Ramah :
“Anak itu menyenangkan sejak kecil, ramah, dan mau belajar apa saja.” (halaman 16)
Pelatih(Papa Taani) :
Galak :
““Berikan yang terbaik. Jika kalian bisa berenang hingga hujan reda, matahari tenggelam, bulan muncul, terus lakukan. Kayuh hingga kaki dan tangan kalian tidak bisa digerakkan. Hanya empat peserta terakhir yang berhasil bertahan di kolam yang berhak menjadi anggota klub!” pelatih berseru galak, bergeming dari pinggir kolam.” (halaman 27)
Tegas :
“Aku jadi tahu bahwa pelatih yang tegas, keras, dan berwibawa itu adalah papa Taani.” (halaman 41)
Kepala sekolah SD :
Baik hati :
“Ibu dan ibu Jarjit dipanggil, bertemu dengan kepala sekolah yang baik hati (syukurlah), seorang bapak berumur enam puluh tahun dengan wajah menyenangkan.” (halaman 36)
Ayah Jarjit :
Keras :
“Ternyata setiap hari papa Jarjit selalu bilang ke Jarjit, ‘Kenapa kau tidak bisa seperti Dam, bertingkah baik dan menyenangkan? Kenapa kau tidak bisa seperti Dam, mandiri, melakukan banyak hal, dan selalu menurut pada orangtua? Kenapa kau tidak seperti Dam inilah, Dam itulah.’ Astaga, kau jadi anak yang ngetop sekali di rumah besar mereka, Dam.” (halaman 66)
Johan :
Penuh rasa ingin tahu :
“Wajah Johan tidak main-main, bukan wajah olok-olok tidak percaya. Wajah itu penasaran bercampur antusiasme.” (halaman 88)
Retro :
Humoris :
“Retro (teman semeja) bergurau saat melakukan praktik gravitasi, dan kami merusak alatnya.” (halaman 119)
“Retro berkoar jumawa, memperagakan ulang gerakan tangannya memanah, dan hop, pura-pura menjadi seekor babi besar, jauh terguling.” (halaman 225)
Tidak sabar :
“Tidak sabar, Retro mengusulkan memetik saja salah satu buah yang terlihat merah matang.” (halaman 119)
Kepala sekolah Akademi Gajah :
Tegas :
“Kepala sekolah tidak membacakan teori apa itu petir. Ia menyuruh kami berdiri di atas menara sekolah. Hujan badai dan semburat kilat terlihat mengerikan. Kami sibuk menjulurkan layang-layang ke atas, mengulang penelitian legendaris itu.” (halaman 114)
Galak :
“Kepala sekolahnya kurus tinggi, tidak berwajah menyenangkan seperti kepala sekolah SD-ku dulu, terkesan galak dengan kumis tebal, rambut pendek berdiri, tapi ia guru yang hebat sekaligus nyentrik.” (halaman 114)
Wade :
Bertanggung jawab :
“la pemimpin kelompok, memberikan instruksi ke arah mana anggota kelompok akan bergerak, membagi tugas, memberikan kode bersiaga, diam sejenak atau terus maju.” (halaman 221)
“Wade memeriksa kelengkapan anggota kelompok, memastikan tidak ada yang tertinggal atau terluka, mencatat hasil masing-masing.” (halaman 222)
“Semalam, tidak terhitung berapa kali ia meneriaki kami agar tidak terpisah dari kelompok, bilang bahwa seluruh keselamatan anggota ada di tangannya.” (halaman 222)
Tegas
“Wade berteriak memberikan komando, berkali-kali mengingatkan agar kami tidak terpisah.” (halaman 221)
Tutekong(Kepala Suku Penguasa Angin) :
Humoris :
“Kepala Suku Penguasa Angin bergurau.” (halaman 155)
Bijaksana :
“Leluhur Tutekong, tetua paling bijak pada masa itu, di luar dugaan memutuskan tidak melawan.” (halaman 157)
Suku Penguasa Angin :
Sabar :
“Bukankah Ayah pernah bercerita bahwa suku Penguasa Angin bisa bersabar walau beratus tahun dizalimi musuh-musuh mereka?” (halaman 24)
“Semua sumber penghidupan mereka dijajah lima generasi, dimusnahkan, dan diganti jadi ladang tembakau, tumbuhan yang amat mereka benci turun-temurun. Tetapi mereka tetap bisa bersabar, bisa mengendalikan diri dengan baik.” (halaman 38)
Ceria :
“Mereka orang-orang yang suka bergurau, bercengkerama, dan bermain.” (halaman 155)
Alim Khan(tetua Lembah Bukhara) :
Pantang menyerah :
“Tidak ada kata menyerah dalam kamus kehidupan Alim Khan.” (halaman 138)
Penduduk Lembah Bukhara :
Rendah hati :
“Meski memiliki apel emas—benda paling berharga sedunia—penduduk Lembah Bukhara tidak pernah menyombongkan diri, Dam.” (halaman 17)
Alur: Campuran
Maju :
“Hari ini umurku empat puluh. Sudah dua puluh tahun aku berhenti memercayai cerita Ayah.” (halaman 7)
Mundur :
“Tiga puluh tahun lalu.” (halaman 8)
“Beranda rumah kami, tiga puluh tahun lalu.” (halaman 32)
Sudut pandang: Pertama
“Aku berhenti memercayai cerita-cerita Ayah ketika umurku dua puluh tahun.” (halaman 5)
“Aku semakin tersenggal memperhatikan dari ujung ruangan.” (halaman 7)
Tema: Keluarga
Bahasa: Indonesia
Latar/setting:
Waktu :
Malam :
“Maka malam ini, ketika Ayah dengan riang menemani anak-anakku, Zas dan Qon, menceritakan kisah-kisah hebatnya pada masa mudanya, aku hanya bisa menghela napas tidak suka.” (halaman 5)
“Malam ini klub kesayangan kau sepertinya bakal kalah tipis.” (halaman 8)
“Malam itu pertandingan putaran pertama semifinal Liga Champions Eropa dimulai.” (halaman 9)
“Malam itu Ayah bertanya apakah dia masih harus mengantar pesanan berikutnya.” (halaman 15)
“Malam itu, Dam, kami tertawa sambil menghabiskan sup jamur yang sudah dingin.” (halaman 15)
Pagi :
“Tadi pagi, seluruh teman di sekolah sibuk meributkan pertandingan ini, bertengkar membela klub kesayangan masing-masing.” (halaman 8)
“Aku menyeringai, menatap wajah bundar Taani yang diterpa cahaya matahari pagi.” (halaman 21)
“Pagi ini Ayah dimakamkan.” (halaman 295)
Dini hari :
“Dini hari itu, dua puluh tahun silam sambil menggeser cokelat yang telah dingin ke arahku, Ayah mulai cerita hebatnya.” (halaman 13)
“Tidur, Dam. Ini sudah pukul tiga dini hari.” (halaman 16)
Siang :
“Baru tadi siang teman-temanku sibuk pamer poster keren sang Kapten, kaus sang Kapten, syal klub, dan topi klub.” (halaman 15)
Dua hari berlalu :
“Dua hari berlalu.” (halaman 93)
Seminggu kemudian :
“Seminggu kemudian.” (halaman 85)
Tempat :
Apartemen Ayah Dam :
“Satu jam setelah meletakkan gagang telepon, pintu apartemen Ayah baru diketuk.” (halaman 14)
Ruang keluarga :
“Lima belas detik ruang keluarga lengang.” (halaman 16)
Ruang kelas :
“Ibu guru menyuruhku berdiri di pojok kelas.” (halaman 20)
Ruang makan Akademi Gajah :
“Ruang makan Akademi Gajah.” (halaman 225)
Ruang kerja Dam:
“Ruang kerjaku lengang, menyisakan denging laptop.” (halaman 189)
“Ruang kerjaku lengang.” (halaman 251)
Lapangan sekolah :
“Lapangan sekolah ramai oleh anak-anak yang bermain bola kasti.” (halaman 21)
Akademi Gajah :
“Satu menit berlalu, lokomotif kereta sudah melaju dengan kecepatan penuh, menyongsong tahun keduaku di Akademi Gajah.” (halaman 123)
Bangunan rumah kaca :
“Kepala sekolah menghukum kami di bangunan rumah kaca (tempat praktik pelajaran tumbuh-tumbuhan).” (halaman 119)
Perpustakaan:
“Seperti yang kuduga aku akan menemukan buku itu esok harinya saat melanjutkan hukuman membersihkan perpustakaan sekolah.” (halaman 147)
Pulang sekolah :
“Pulang sekolah, dengan menumpang angkutan umum, Ayah menjemputku.” (halaman 22)
Kolam renang :
“Kolam renang kota ramai oleh anak-anak.” (halaman 23)
Pemakaman :
“Di tepi pemakaman terdengar teriakan-teriakan.” (halaman 296)
Suasana:
Bersemangat :
“Inilah dia pemain terhebat milik kita! Pujaan hati seluruh penggemar! Inilah dia pencetak gol terbanyak! Inilah dia….” (halaman 9)
Menegangkan :
“Seluruh stadion senyap. Pembawa acara pertandingan terdiam. Keheningan mengungkung langit-langit.” (halaman 10)
Menyedihkan :
“Ayah benar, aku tiba-tiba menjadi orang paling sedih sedunia. Kerongkonganku tercekat, dadaku menyempit, seperti ada yang terenggutkan.” (halaman 11)
Ramai :
“Aku tidak pernah melihat keramaian seperti ini sebelumnya di kota, mengalahkan kejuaraan nasional renang, festival kembang api, bahkan tur sang Kapten dua puluh tahun silam.” (halaman 295)
Sepi :
“Lima belas detik ruang keluarga lengang.” (halaman 16)
“Ruang kerjaku lengang, menyisakan denging laptop.” (halaman 189)
“Ruang kerjaku lengang.” (halaman 251)
Amanat: Kita tidak boleh berburuk sangka pada seseorang sebelum mencari tahu lebih dalam, karena belum tentu apa yang kita pikirkan sesuai dengan kenyataannya.
“Aku berhenti memercayai cerita-cerita Ayah ketika umurku dua puluh tahun.” (halaman 5)
“Pagi itu aku tahu, Ayah bukan pembohong.” (halaman 298)
Unsur ekstrinsik
Nilai agama
Berdoa pagi sebelum memulai aktivitas.
“Kami bangun pukul empat pagi, memulai aktivitas dengan berdoa.”(halaman 117)
Nilai budaya
Mendongeng untuk mendidik anak.
“Sejak kecil, bahkan sejak aku belum bisa diajak bicara, Ayah sudah suka bercerita.”(halaman 12)
“Ah, dia akan belajar banyak hal baik dari cerita-cerita itu.”(halaman 17)
Nilai moral
Tidak sombong.
“Meski memiliki apel emas—benda paling berharga sedunia—penduduk Lembah Bukhara tidak pernah menyombongkan diri, Dam.”)(halaman 17)
Sabar.
“Bukankah Ayah pernah bercerita bahwa suku Penguasa Angin bisa bersabar walau beratus tahun dizalimi musuh-musuh mereka? Suku itu paham, terkadang cara membalas terbaik justru dengan tidak membalas.” (halaman 24)
Sinopsis
Kapan terakhir kali kita memeluk ayah kita? Menatap wajahnya, lantas bilang kita sungguh sayang padanya? Kapan terakhir kali kita bercakap ringan, tertawa gelak, bercengkerama, lantas menyentuh lembut tangannya, bilang kita sungguh bangga padanya?
Inilah kisah tentang seorang anak yang dibesarkan dengan dongeng-dongeng kesederhanaan hidup. Kesederhanaan yang justru membuat ia membenci ayahnya sendiri. Inilah kisah tentang hakikat kebahagiaan sejati. Jika kalian tidak menemukan rumus itu di novel ini, tidak ada lagi cara terbaik untuk menjelaskannya.
Mulailah membaca novel ini dengan hati lapang, dan saat tiba di halaman terakhir, berlarilah secepat mungkin menemui ayah kita, sebelum semuanya terlambat, dan kita tidak pernah sempat mengatakannya.
Keunggulan
Berisi banyak pelajaran hidup yang inspiratif
Gaya bahasa sederhana dan mudah dipahami, namun tetap bermakna dan menarik.
Penggambaran suasana yang detail membuat pembaca larut dalam cerita.
Kekurangan
Alur cerita yang sering melompat-lompat membuat beberapa pembaca merasa bingung dan kesulitan mengikuti jalan ceritanya.
Beberapa karakter kurang dikembangkan dengan baik sehingga tidak terasa hidup atau berkesan.
Ada kesalahan penulisan kata. Tertulis “Kakek sedikit terbatuk, kaget.” pada halaman 61 yang seharusnya “Ayah sedikit terbatuk, kaget.” karena dari sudut pandang Dam. Selain itu, pada halaman 123 tertulis “Akedemi Gajah” yang seharusnya “Akademi Gajah”.
Kesimpulan
"Ayahku (Bukan) Pembohong" sangat direkomendasikan bagi pembaca yang mencari cerita dengan pesan kehidupan yang mendalam dan inspiratif. Buku ini cocok untuk segala usia karena bahasa yang mudah dipahami dan banyak mengandung pelajaran hidup. Bagi yang menyukai cerita emosional tentang hubungan keluarga, buku ini akan menjadi pilihan yang tepat.
Comments
Post a Comment